Dialog Senja
Dialog Senja
Karya: Alya Dhiya
Kelas: XI IPA 1
Saat itu aku memutuskan untuk membenci senja. Tepatnya pada
saat itu pukul empat, sabtu sore. Aku memilih untuk pergi ke bukit Rakra. Bukit
itu berada di sebrang aliran sungai. Sengaja ketika kami berdua menemukan bukit
itu, juga karna aliran sangat yang deras, Rakra membuat jembatan menggunakan
beberapa batang pohon yang ada disekitar sungai itu. Aku juga ikut membantu
Rakra.
Kalau soal dinamakan bukit Rakra, itu memang kemauan Rakra
sendiri. Dia bilang biar semua orang tahu apabila Rakra yang menemukan bukit
ini. Rakra juga bilang dia mau seperti penemu yang dikenang oleh banyak orang.
Dia memang banyak maunya, jadi aku tidak protes. Bukit ini juga sekarang sudah
ada rumah pohon yang dipakai aku dan Rakra untuk tidur.
Sudah sekitar dua tahun, aku dan Rakra selalu berkunjung ke
bukit ini ketika matahari terbenam. Siapa bilang kalau melihat senja terus
menerus akan bosan? Toh contohnya kami selalu saja ingin melihat sang penguasa
alam terbenam dengan meninggalkan jejak langit yang sangat indah. Sejak dua
tahun yang lalu itu juga aku dan Rakra menjadi pecinta senja.
Aku dan Rakra kenal saat masuk perguruan tinggi disalah satu
universitas di Bandung. Kami berada di jurusan yang sama, kelas yang sama, dan
rumah yang dekat. Ini semua memang seolah sudah Tuhan rencanakan. Pertemuan
pertama kami yaitu ketika aku yang tidak sengaja menginjak tali sepatu Rakra
yang lepas, lalu dia terjatuh. Tapi untungnya saat itu Rakra tidak marah dan
hanya tersenyum.
Sejak saat itu aku dan Rakra sangat dekat. Pergi dan pulang
bersama, makan, main, dan mengerjakan tugaspun kami selalu bersama. Sampai saat
itu tiba, saat pertama kali kami menemukan bukit itu. Rakra menjadikan aku
sebagai kekasihnya. Senja kali ini menjadi saksi kebahagiaan dan kerbersamaan
kami berdua. Tentu, senangnya tidak tertahan. Hehehehe.
Rakra memang orang yang manja dan tidak bisa diatur. Tapi
dia adalah orang dengan beribu akal gilanya dan tanggung jawabnya yang sangat
hebat. Aku dan Rakra jarang sekali bertengkar, tiap kali aku marah pasti saja
ada acara bagi Rakra untuk membuatku tidak jadi marah.. Itulah mengapa aku bisa
sangat menyayanginya.
Kami berdua sama-sama suka alam dan suara burung berkicau.
Bukan itu saja, kami memiliki banyak kesamaan lainnya. Tidak usah disebut ya.
Oh ya, aku dan Rakra juga memiliki hewan peliharaan. Rakra memang menyukai
kelinci dan sengaja kelincinya Rakra simpan dibukit ini. Selagi bosan, aku
kadang bermain dengan Prims-kelinci milik Rakra. Prims hebat dalam bertahan
hidup, dia seperti tau mana tempat yang aman untuknya dan makanan yang aman
untuk dia makan.
Semuanya mengalir seperti aliran air disungai itu. Semua
terasa cepat. Tibalah saat sabtu sore itu. Aku sedang duduk di ujung bukit sembari
menunggu senja datang. Tidak disini tidak ada Rakra, aku benar-benar sendiri.
Sudah kubilang semuanya terasa cepat dan akupun masih tidak percaya. Aku dengan bodohnya masih terus menunggu
Rakra datang kesini menemani Senja untuk terakhir kalinya.
Mataku sangat sembab. Sehabis siangnya pulang dari pemakaman
Rakra. Air dari kedua bola mataku tidak bisa aku bendung. Padahal Rakra sangat
benci melihatku menangis. Tapi sungguh, kali itu aku sangat tidak bisa
membendung air yang sudah bertumpuk di kedua pelupuk mataku. Rakra pergi
terlalu cepat. Tapi dia memang sudah lama mengidap leukemia. Penyakit yang
sangat Rakra takuti sejak kecil.
Tapi nyatanya semesta tidak setuju dengan jalan cerita ini.
Semesta mengubah alur cerita menjadi penuh kesedihan. Semesta tidak mengizinkan
Rakra untuk tinggal dibumi lebih lama. Tapi disisi lain, akupun meresa tenang
karna Rakra sekarang sudah tidak lagi kesakitan. Walaupun hati kecilku masih
merindukan Rakra.
Saat sabtu sore itupun, aku memutuskan untuk membenci senja
agar bisa lupa dari Rakra. Sangat pilu rasanya melihat senja saat Rakra sudah
tidak ada lagi. Aku tau Rakra tak ingin aku terus menangis. Maka dari itu, aku
memutuskan untuk menghindari apapun yang dulu sering aku lakukan bersama Rakra.
Seminggu berlalu setelah sabtu sore itu. Rasanya kosong. Ada
yang kurang dan aku masih tidak bisa melupakan Rakra. Akhirnya aku memutuskan
untuk kembali kebukit itu setelah satu minggu tidak mengunjunginya. Ada rasa
hangat ketika bisa kembali melihat senja di bukit itu.
Disaat kemarin aku membenci semesta karna sudah mengambil
Rakra. Sekarang aku kembali berterimakasih pada semesta, karna aku bisa
berdialog dengan senja. Aku bisa tau betapa senangnya Rakra sekarang disana.
Aku yakin Rakra selalu ada saat senja tiba, maka dari itu walaupun semesta
sudah mengambil Rakra, tapi semesta
tidak mengambil senja.
Aku kembali mencintai senja karna hanya dengan bertemu
senja, aku bisa merasakan keberadaan Rakra. Dan dialog ku dengan senja kali ini
adalah meminta senja untuk selalu mengingat awal kami berada disini sampai
terakhir Rakra berada disini. Bukit ini, senja, dan burung kino menjadi saksi
betapa ikhlasnya aku melepas Rakra yang sudah bahagia disana.
Komentar
Posting Komentar