Mawar Putih
Mawar Putih
Karya: Khalda Alifia Azzahra
Kelas: XI IPA 1
“Lihatlah mawar putih ini, sangat cantik
kan?”
“Saat ibu ulang tahun, beri ibu setangkai
mawar putih. Itu saja sudah cukup.”
“Kau tahu, saat ibu masih berpacaran
dengan ayahmu, setiap ayahmu bertemu ibu pasti ia memberi ibu setangkai mawar
putih. Ayahmu sangat romantis bukan?”
“Ibu titip pesan padamu. Jika ibu sudah
tiada, buatlah kebun mawah putih di depan rumah. Agar kamu selalu teringat
dengan ibu.”
“Ibu kenapa sangat menyukai mawar putih? Mengapa tidak
mawar merah saja?”tanyaku kepada ibu.
“Karena mawar putih mengingatkan ibu kepada
cerita ibu dan ayah saat belum menikah. Apakah kau masih ingat cerita ibu
tentang ayahmu yang selalu memberi ibu mawar putih ketika ayah dan ibu masih
muda?”
“Ya, aku ingat ibu. Ibu pasti sangat
mencintai ayah. Semoga ayah menjaga ibu selalu.”
“Pasti. Ibu sangat mencintai ayahmu.
Ayahmu sudah berjanji kepada ibu untuk menjaga ibu selalu dan tidak menyakiti
ibu.”
“Ibu!” teriakku. Aku
terbangun dari tidurku. Keringat mengucur dari pelipisku. Pipiku basah karena
air mataku yang mengalir terus menerus. Badanku basah karena keringat. Tanganku
bergetar. Mimpi itu lagi. Ya, mimpi yang sama. Mimpi yang selalu menemaniku
saat aku tertidur. Mimpi yang membuatku menderita insomnia. Mimpi yang membuatku selalu teringat dengan ibuku.
Aku melihat jam, masih
pukul 3 dini hari. Aku bangun dari kasurku, lalu melangkah menuju kamar mandi.
Kubasuh mukaku dan melihat pantulan diriku di cermin. Aku tersenyum kecut
melihat keadaanku sekarang. Kantung mata yang sangat jelas, mata merah dan
sembab, hidung merah, dan bibir pucat. Aku bertanya pada diriku sendiri. Sudah
berapa lama aku tidak merasakan tidur nyenyak? Kapan mimpi itu berhenti? Kapan
aku bisa kembali tidur nyenyak dan bermimpi indah? Dan kapan aku bisa merelakan
ibu?
Tenggorokanku
kering karena tadi aku berteriak. Aku berjalan menuju dapur untuk mengambil
segelas air putih. Saat ku tengah berjalan menuju dapur, aku melihat vas yang
berisi mawar putih yang sudah layu. Lalu aku mendekati vas bunga itu, dan
mengambil setangkai mawar putih itu. Aku meremas bunga itu dan menginjaknya.
Aku menatap bunga itu dengan benci. Lalu aku melihat mawar yang masih tersisa
di vas bunga. Emosiku mulai meluap. Akupun mendorong vas bunga itu ke lantai
hingga pecah. Mawar itupun berceceran. Mataku berkaca-kaca. Pandanganku
mengabur karena tertutupi air mata. Kakiku bergetar, dan badanku terjatuh ke
lantai karena kakiku tidak kuat menopang berat badanku. Air mataku mengalir
begitu deras. Aku terus menjerit karena bayangan ibu memenuhi kepalaku. Mengapa
ibu tega meninggalkanku sendiri? Apakah ibu sudah tidak sayang kepadaku? Seharusnya
aku ikut tertusuk juga. Aku
memukul-mukul dadaku, “Sakit Bu, sakit. Aku tidak bisa menanggung beban ini
sendiri. Aku Aku sendirian di sini. Aku tidak punya siapa-siapa lagi di sini.
Apakah aku harus menyusul Ibu kesana?”
Aku memegang
kepalaku yang mulai pusing. Aku mulai lelah, lalu mataku perlahan-lahan
tertutup. “Ibu…” gumamku lirih sebelum kesadaranku hilang.
Aku berjalan menuju rumahku sambil
memegang satu buket mawar putih. Ya, hari ini ulang tahun ibu. Ibu pernah berpesan
kepadaku jika ia ulang tahun, ia ingin hadiah setangkai bunga mawar putih. Tapi
karena aku ingin memberi lebih, jadi kubeli saja satu buket mawar putih.
“Ibu, aku pulang!” teriakku saat aku membuka
pintu rumah.
Hening. Tidak ada jawaban. Ku langkahkan
kakiku masuk ke dalam rumah. “Ibu, kau ada dimana?” aku berteriak.
Tetapi tetap tidak ada jawaban. Lalu aku
pergi ke dapur, karena siang hari seperti ini biasanya ibu sedang memasak. Saat
aku tengah berjalan menuju dapur, aku mencium bau amis seperti darah. “Mungkin
ibu sedang mencuci daging.” pikirku.
Saat aku sampai dapur, aku terperanjat.
Aku menutup mulutku. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, ibu tertidur di
lantai bersimbah darah sambil memegang setangkai mawar putih yang berubah warna
menjadi merah karena sudah terkena aliran darah dari tubuh ibu. Di dada ibu ada
luka tusuk yang terus mengeluarkan darah. “Tidak… Ibu…” lirihku sambil
menghampiri ibu yang tertidur di lantai.
“Ibu! Ibu masih sadar kan? Ibu masih bisa
mendengarku kan? Ini aku, Rose!” ujarku sambil menepuk-nepuk pipi ibu. Air
mataku sudah mengalir dengan deras. Aku memegang pergelangan tangan ibu untuk
mengecek denyut nadinya. Tetapi tidak ada denyutan disana. Aku mencoba memompa
dada ibu agar jantungnya dapat berdetak lagi. Tetapi tetap saja tidak berhasil.
Aku mengarahkan tanganku ke hidung ibu untuk mengecek pernapasnya. Ibu sudah
berhenti bernapas. Aku menatap sedu ibu sambil menangis. “Ibu, jangan
tinggalkan Rose…” ucapku sedih.
Di samping ibu, aku melihat ayah menangis
memandang ibu sambil memegang pisau yang sudah berlumuran darah. Di baju yang
ayah kenakan banyak cipratan darah. Emosiku memuncak. Mataku memerah. Aku
menatap tajam ayah, “Apa yang kau lakukan kepada Ibu?”.
Ayah menatapku. “A-ayah tidak sengaja,
m-aafkan a-“
“Apa? Tidak sengaja katamu? Maksudnya apa
tidak sengaja? Jelas-jelas kau menusukkan pisau itu ke dada ibu!” marahku.
“Ayah tidak sadar telah m-enusuk Ibum-“
“TIDAK SADAR? APAKAH AYAH SUDAH GILA?”
“Maafkan ayah, Rose. Ayah benar-benar
tidak sengaja. Ayah tadi sedang marah kepada ibumu, lalu tanpa sadar ayah telah
mengambil pisau dan menusuknya ke dada ibu.”
“MAAF KATAMU? APAKAH KATA MAAF BISA
MENGHIDUPKAN IBU KEMBALI?”
“Maaf Rose, ayah telah mengingkari janji
ayah sendiri untuk menjaga ibu dan tidak menyakitinya.”
“BUKANKAH AYAH MENCINTAI IBU? MENGAPA AYAH
MELAKUKAN INI? AYAH TEGA!”
“Ayah sangat mencintai Ibumu nak, tapi ayah
telah mengingkari janji ayah sendiri. Ayah sangat menyesal, Rose.”
Terdengar suara sirine ambulans dan mobil
polisi dari luar rumah. Polisi langsung masuk ke dalam rumah dan menuju ke
tempatku.
“Angkat tangan!” beberapa polisi
menodongkan pistol kepada ayah. Ayahpun mengangkat tangannya. Lalu polisi
memborgol tangan ayah dan membawanya ke luar rumah. Para perawat dari rumah
sakit mengangkut ibu ke dalam ambulans.
Aku memegang keningku. Aku terlalu pusing
untuk berfikir dengan jernih apa yang sudah terjadi. Seseorang berseru
kepadaku, “Nona? Apa kau tidak apa-apa?”.
Belum sempat aku menyahut, pandanganku mulai
mengabur dan aku mendengar seseorang memanggilku sebelum aku jatuh pingsan.
Aku terbangun.
Aku melihat ke sekitarku. Pecahan vas bunga dan mawar putih berserakan di
sekitarku. Aku tertidur saat aku menangis tadi. “Apakah aku harus merelakan
kepergian ibu sekarang?” gumamku.
Aku berfikir
untuk merelakan kepergian ibu sekarang. Ya, sudah satu tahun ibu meninggalkanku
dan aku belum bisa merelakan kepergiannya. “Mimpi dan bayangan itu terus
menghantuiku karena aku belum merelakan kepergian ibu, mungkin,” pikirku, “Ya,
aku harus merelakannya. Ibu juga pasti sedih jiga aku terus seperti ini.”
Lalu aku berdiri
dari lantai dan mulai membersihkan pecahan vas bunga dan mawar putih yang
berceceran di lantai. Setelah selesai, aku berjalan menuju kamarku untuk
berganti baju dan pergi mengunjungi makam ibuku.
Hari tanggal 17.
Sudah tepat satu tahun ibu telah meninggalkan dunia ini. Aku mulai menyiram dan
menaburkan bunga ke makam ibu. Lalu aku memegang nisan ibu, dan menyapa ibu.
“Halo Ibu, apa
kabar? Apakah Ibu senang disana? Ku harap ibu senang disana. Maafkan Rose baru
bisa kesini sekarang. Karena Rose takut. Takut akan kenyataan. Kenyataan bahwa
ibu sudah tiada. Maafkan Rose yang belum bisa merelakan kepergian ibu. Setelah
ibu meninggalkan dunia ini dan ayah masuk penjara, hidup Rose menjadi suram.
Rose kesepian, tidak ada seseorang yang menemani Rose. Sekarang tidak ada yang
membangunkan Rose, tidak ada yang mengucapkan selamat pagi untuk Rose, tidak
ada yang memasak sarapan, bekal, ataupun makan malam untuk Rose. Rose sangatlah
sedih. Mengapa ayah tega membunuh ibu? Padahal ibu sangat mencintai ayah kan? Rose
sekarang membenci ayah. Ayah telah berbohong. Ayah bilang ayah mencintai ibu.
Tapi mengapa ayah membunuh ibu kalau ayah mencintai ibu? Bukankah orang yang
saling mencintai tidak akan menyakiti satu sama lain? Ibu juga pernah berkata
bahwa ayah pernah berjanji untuk selalu menjaga ibu dan tidak menyakiti ibu.
Tetapi ayah ingkar janji. Aku sangat benci ayah, Bu.”
Aku menangis. Aku
teringat kejadian itu. Saat ibu bersimbah darah di lantai tidak bernyawa. Aku
sangat merindukan ibu. “Ah, mengapa aku menjadi curhat begini.” ucapku sambil
mengusap air mata yang keluar dari mataku.
“Tapi ibu pernah
berkata kalau kita tidak boleh membenci orang tua kita sendiri. Walaupun aku
benci ayah, tapi aku sayang ayah. Aku merindukan ayah , Bu. Ibu juga pasti merindukan
ayah kan? Sehabis dari sini aku akan mengunjungi ayah dan bilang bahwa ibu juga
merindukan ayah. Maafkan aku hanya bisa berkunjung sebentar bu. Karena jam
besuk ayah sebentar lagi berakhir. Kapan-kapan aku akan mengajak ayah jika
berkunjung kesini. Yasudah kalau begitu aku pergi dahulu ya Bu. Selamat
tinggal.” kataku. Lalu aku mengecup nisan ibu sebentar dan pergi meninggalkan
pemakaman.
Komentar
Posting Komentar